Dalam memahami mengapa seseorang harus
membayar pajak untuk membiayai pembangunan dan pengeluaran pemerintah lainnya,
maka perlu terlebih dahulu memahami pengertian dari pajak dan hukum pajak itu sendiri. Seperti
diketahui bahwa negara dalam melaksanakan pemerintahan memiliki kewajiban untuk
menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahteraan, keamanan,
pertahanan, kesehatan maupun kecerdasan atau
pendidikan. Hal ini sesuai dengan tujuan negara
yang tertera dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “melindungi segenap bangsa
indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia serta memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
keadilan sosial”. Dari uraian
tersebut tampak bahwa karena kepentingan rakyat, maka negara memerlukan dana untuk
memenuhi kepentingan tersebut. Dana tersebut didapatkan dari hasil pemungutan dari rakyat yang
disebut dengan pajak. Pemungutan pajak
juga harus berdasarkan persetujuan dari rakyat dan haruslah berdasarkan
undang-undang yang disetujui oleh rakyat memalui dewan perwakilan rakya.
Berdasarkan uraian di atas pada
kesempatan ini kami akan mencoba untuk memaparkan sedikit perihal pengertian
pajak dan hukum pajak yang kami dapat
dari perkuliahan tadi dengan harapan dapat memberikan tambahan pemahaman bagi kita
semua tentang pajak dan hukum pajak di indonesia.
a.
Pengertian
Pajak dan Hukum Pajak
1. Pengertian
Pajak
Ada beberapa pendapat dari para pakar mengenai pengertian dari perpajakan
diantaranya:
·
Mr. Dr. N. J. Feldmann
berpendapat “ pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang
kepada penguasa, (menurut norma-norma yang ditetapkan ecara umum), tanpa adanya
kontra-prestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran
umum”[1].
·
Prof. Dr. M. J. H.
Smeets, berpendapat “pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma
umum, dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra-prestasi yang dapat
ditunjukan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai
pengeluaran pemerintah”.[2]
·
Dr. Soeparman
Soemahamidjaja berpendapat
“ pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh
penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi
barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahtraan umum”[3]
·
Prof. Dr. Rochmat
Soemitro, S.H. berpendapat “pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat
jasa-timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
Dari empat pengertian pajak di atas
dapat disimpulkan bahwa ada lima unsur yang melekat dalam pengertian pajak,
yaitu:
1. Pembayaran
pajak harus berdasarkan undang-undang, jadi apabila pemungutan pajak tidak
sesuai dan didasarkan pada undang-undang atau peraturan, maka ini tidak sah dan dianggap sebagai perampasan
hak.
2. Sifatnya
dapat dipaksakan, dalam arti bila kewajiban ini tidak dilaksanakan maka dengan
sendirinya dapat dipaksakan, hutang ini dapat ditagih dengan menggunakan
kekerasan, seperti surat paksa dan sita.
3. Tidak
ada kontra-prestasi (imbalan) yang dapat dirasakan langsung oleh pembayar
pajak, tetapi ditujukan secara kolektif atau kepada anggota masyarakat secara
keseluruhan.
4. Pemungutan
pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah pusat atapun pemerintah daerah
(tidak boleh dilakukan oleh swasta)
5. Pajak
digunakan muntuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah (rutin dan
pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum, seperti pembuatan jalan,
jembatan, gedung, gaji untuk pegawai negri, dan sebagainya.[4]
2. Pengertian
Hukum Pajak
Hukum
pajak adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah
untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat
melalui kas negara, sehingga hukum pajak tersebut merupakan hukum publik yang
mengatur hubungan negara dengan orang-orang atau bdan-badan yang berkewajiban
membayar pajak.[5]
Dengan kata lain
hukum pajak menerangkan tentang:
·
Siapa-siapa wajib pajak
dan apa kewajiban mereka terhadap pemerintah;
·
Objek-objek apa yang
dikenakan pajak;
·
Cara penagihan pajak;
·
Cara mengajukan
keberatan dan sebagainya.
Sebagai Hukum, peraturan-peraturan
perpajakan pada intinya bagi wajib pajak memuat kewajiban-kewajiban, hak-hak
dan sanksi administratif maupun sanksi pidana sehubungan dengan
pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan-ketentuannya. Hukum pajak merupakan
bagian dari Hukum Publik, khususnya temasuk lingkungan Hukum Administrasi
Negara. Hukum Pajak tidak terlepas dari bagian-bagian Hukum lainnya, melainkan
memiliki hubungan erat dengan Hukum Perdata, dan Hukum Pidana.[6]
b.
Hukum
Pajak dalam Tata Hukum Nasional
Dalam
literatur ternyata Hukum Pajak merupakan bagian dari Hukum Administrasi Negara,
yang merupakan segenap peraturan hukum yang mengatur segala cara kerja dan
pelaksanaan serta wewenang dari lembaga-lembaga negara serta aparaturnya
(penyelenggara pemerintah) dalam
melaksanakan tugas administrasi negara. Sekalipun demikian, dalam pengaturan
materinya banyak memiliki kesamaan dengan hukum perdata dan hukum pidana.
1. Hubungan
Hukum Pajak dengan Hukum Perdata
Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Perdata merupakan
hubungan hukum antara sesama anggota masyarakat, sedangkan hukum pajak
merupakan hukum publik yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah dengan
masyarakat Wajib Pajak. Hubungan yang jelas tampak adalah bahwa dalam hukum
pajak selalu mencari dasar kemungkinan pemungutan pajak berdasarkan perbuatan
hukum perdata misalnya berupa perjanjian-perjanjian, hal pendapatan, kekayaan,
dan warisan. Seseoran yang melakukan perjanjian jual beli suatu barang,
merupakan dasar bagi hukum pajak untuk melakukan pengenaan pajak, misalnya
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; transaksi penjualan tanah dan bangunan
antara pihak penjual dam pembeli, merupakan perbuatan hukum perdata. Perbuatan
hukum ini merupakan sasaran atau objek dikenakannya pemungutan atas transaksi
tersebut.[7]
2. Hubungan
Hukum Pajak dengan Hukum Pidana
Hukum Pidana yang merupakan bagian dari hukum pubik
merupaka hubungan hukum yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah yang
berkaitan dengan masalah tindak pidana. Ketentuan hukum pidana yang diatur di
dalam KUHP banyak digunakan dalam peraturan undang-undang pajak. Paling mudah
bila kita melihat ketentuan yang diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor
16 Tahun 2000 yang dengan jelas sekali menyebut adanya sangsi pidana terhadap
Wajib Pajak yang melanggar ketentuan dibidang perpajakan. Bahkan
ancaman-ancaman pidana dalam Hukum Pajak selalu mengacu pada ketentuan Hukum
Pidana, misalnya terhadap Wajib Pajak yang memindah tangankan atau memindah hak
atau merusak barang yang telah disita karena tidak melunasi utang pajaknya akan
diancam dengan Pasal 231 KUH Pidana.[8]
[1] Adrian Sutedi, Hukum Pajak ,(Jakarta:
Sinar Grafika, 2011), hlm.3
[2] H. Bohari, S.H.,MS, Pengantar
Hukum Pajak, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 19
[3] H. Bohari, S.H.,MS, Pengantar
Hukum Pajak, hlm. 20
[4] H. Bohari, S.H.,MS, Pengantar
Hukum Pajak, hlm. 21
[5] Adrian Sutedi, Hukum Pajak , hlm.
6
[6] Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Pengantar
Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: PN BALAI PUSTAKA, 1980), hlm.
313
[7] Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, hlm. 10
[8] Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, hlm. 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar