Sabtu, 25 Oktober 2014

Al-Wakalah atau Al-Wikalah


Dalam  kehidupan sehari-hari kita banyak melakukan kegiatan berMu’amalah, yang dalam islam ber-mu’amalah memiliki aturan-aturan tersendiri. Dalam ber-mu’amalah sering kali kita menggunakan akad wakalah atau mewakilkan suatu pekerjaan kepada orang lain karena alas an kita tidak bias untuk melaksanakan tugas yang seharusnya kita laksanakan. Oleh karenanya dalam kesempatan kali ini kami akan membahas sedikit permasalahan yang berkaitan dengan wakalah atau perwakilan yang kami dapat dari perkuliahan kemarin. J
Secara bahasa Al Wakalah atau Al Wikalah,  bermakna: At Tafwidh (penyerahan = pendelegasian = pemberian mandat). Sedangkan Al-Wakalah atau al-wakilah menurut istilah para tokoh ulama berbeda-beda antara lain sebagai berikut.
·        Malikiyyah berpendapat bahwa al-Wakalah ialah seseorang menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu.
·        Hanafiyyah berpendapat bahwa al-Wakalah ialah  seseorang menempati diri orang lain dalam tasharruf (pengelolahan).
·        Sayyid al-bakri ibnu al-Arif billah al- sayyid Muhammad Syatha al-Dhimyati berpendapat bahwa al-Wakalah ialah seseorang menyerahkan urusannya kepada yang lain yang didalamnya terdapat penggantian.
·        Imam Taqy al-Din Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini berpendapat bahwa al-Wakalah ialah seseorang yang menyerahkan hartanya untuk dikelolahnya yang ada penggantinya kepada yang lain supaya menjaganya ketika hidupnya.
·        Hasbi Ash-Shiddiqy berpendapat bahwa al-Wakalah ialah Akad penyerahan kekuasan, pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai gantinya dalam bertindak.
·        Idris Ahmad berpendapat bahwa al-Wakalah ialah seseorang yang menyerahkan suatu urusanya kepada orang lain yang dibolehkan oleh syara’. Supaya yang diwakilkan dapat mengerjakan apa yang harus dilakukan dan berlaku selama yang mewakilkan masih hidup.[1]

Dari banyaknya defnisi tersebut dapat ditarik kesimpulan al wakalah adalah penyerahan kekuasaan oleh seseorang pada orang lain dalam hal-hal yang dapat diwakilkan baik berupa harta atau pekerjaan sehingga yang mewakili berkuasa penuh atas apa yang diwakili serta selama yang mewakilkan masih hidup dan tidak ada pemutusan akad perwakilan.
Ada beberapa rukun-rukun dalam berwakalah yaitu:
Ø Yang berwakil dan wakil syarat keduanya hendaknya dapat menjalankan pekerjaan itu dengan sendirinya (pekerjaan itu boleh dikerjakan sendiri atau diwakilkan dan dia boleh menjadi wakil pekerjaan itu). Yang menjadi wakil tidak boleh mewakilkan lagi kepada orang lain, kecuali dengan izin dari yang berwakil atau karena sangat terpaksa. Sedangkan masalah anak kecil dan orang gila tidak sah berwakil atau menjadi wakil. Adapun anak kecil ada sedikit pembeda, dia sah mewakilkan dalam tindakan-tindangan yang bermanfaat, mahdhah seperti mewakilkan untuk menerima hibah, sedekah dan wasiat. Jika tindakan itu adalah tindakan dharah mahdhah (berbahaya) seperti talak, memberikan sedekah, memberikan hibah maka tidak dibenarkan mewakilkan. Sedangkan menurut madzhab hanafi, anak kecil yag sudah dapat membedakan barang maka sah diberikan perwakilan karena ia sudah dianggap sebagai orang yang baligh.
Ø Pekerjaan yang diserahkan syaratnya:
a.     Situasi pekerjaannya boleh digantikan oleh orang lain, oleh karena itu tidak sah melakukan wikalah untuk mengerjakan ibadah, kecuali ibadah-ibadah tertentu
b.     Pekerjaan itu telah menjadi milik yang berwakil sewaktu dia berwakil, oleh karena itu tidak sah berwakil menjual barang yang belum menjadi miliknya
c.      Keadaan pekerjaan itu diketahui dengan jelas.
Ø Akad atau Lafadz syaratnya adalah menggunakan sebuah kalimat yang menunjukan keridoan yang berwakil atas apa yang diwakilkan. Dan tidak disyaratkan adanya lafadz tertentu akan tetapi sudah sah dengan apa saja yang dapat menunjukan hal itu baik berupa ucapan atau perbuatan. [2]
Sedangkan macam-macam wakalah dapat diklarifikasikan sebagai berikut :
·        Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan waktu syarat atau kaidah tertentu dan untuk segala urusan, semisal seperti ungkapan : juallah mobil ini, tanpa menyebutkan harga yang diinginkan.
·        Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil untuk bertindak atas namanya dibatasi dengan syarat-syarat tertentu, misalnya juallah mobilku dengan harga 100 juta jika kontan dan 150 juta jika kredit.
·        Wakalah al ammah, perwakilan yang prosesi pendelegasian wewenangnya bersifat umum, tanpa adanya spesifikasi, Seperti ungkapan belikanlah aku mobil apa saja yang kamu temui. [3] 
Islam mensyariatkan wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak semua manusia berkemampuan melakukan segala urusannya secara pribadi. Ia membutuhkan orang lain untuk diberi mandat untuk menjadi wakilnya melakukan beberapa urusan.
Salah satu dasar dibolehkannya al-wakalah adalah firman Allah SWT berkenaan dengan Ash-habul Kahfi,
“Dan Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.” (Q.S. Al-Kahfi: 19).
Ayat ini melukiskan perginya salah seorang ash-habul kahfi yang bertindak  atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan.[4]
a.     Q.S. Al-Baqarah: 283
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah: 283)
Dalam ayat ini menerangkan bahwa apabila suatu ketika kita melakukan transaksi utang piutang akan tetapi tidak terdapat seorang saksi, juga tak ada seorang yang dapat menulis kesepakatan atau perjanjian tersebut, maka orang yang berhutang dapat memberikan jaminan kepada orang yang memberikan hutang. Dengan demikian maka secara tidak langsung orang yang berhutang telah mewakilkan hak atas barang tersebut kepada orang yang memberikan hutang dalam hal perawatan dan pemanfaatan selama orang yang berhutang belum melunasi hutangnya, atau dengan syarat-syarat tertentu yang telah disepakati bersama.
b.     QS An-Nisaa: 35
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS An-Nisaa: 35)
          Ayat ini menerangkan bahwa apabila terdapat perselisihan antara suami dan istri maka hendaklah mereka mengirimkan seorang hakim dari keluarga laki-laki dan perempuan sebagai wakil dalam menyelesaikan perselisihan tersebut.
c.      QS Yusuf: 55
“Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”(QS Yusuf: 55)
Banyak hadits yang dapat dijadikan landasan keabsahan Wakalah, diantaranya:
“Bahwasanya Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilkannya mengawini Maimunah binti Al Harits”.
(HR. Malik dalam al-Muwaththa’)
Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
 (HR Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf)
Dalam kehidupan sehari-hari, Rosulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan. Diantaranya adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan lain-lain. [5]
3. Ijma’
Para ulama pun bersepakat dengan ijma’ atas diperbolehkannya Wakalah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis ta’awun atau tolong-menolong atas dasar kebaikan dan taqwa. Tolong-menolong diserukan oleh Al-Qur’an dan disunahkan oleh Rasulullah.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram,  jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (Q.S. Al-Maidah: 2).
Akad wakalah akan berakhir apabila:
1.     Matinya salah seorang dari yang berakad, atau menjadi gila. Karena salah satu wakalah adalah hidup dan berakal. Apabila terjadi kematian, atau gila, berarti syarat sahnya menjadi tidak ada.
2.     Dihentikannya pekerjaan yang dimaksud. Kerena jika telah terhenti, dalam keadaan ini wakalah tidak memiliki makna lagi.
3.     Pemutusan oleh orang yang mewakilkan terhadap wakil sekalipun dia tidak tahu, ini menurut madzhab Asy Syafi’I dan Hambali. Sedangkan menurut madzhab Hanafi wajib bagi wakil mengetahui pemutusan. Sebelum ia mengetahui hal itu maka tindakannya tidak ubahnya seperti sebelum diputuskan untuk segala hukumnya.
4.     Wakil memutuskan sendiri. Tidak perlu orang yang mewakilkan mengetahui pemutusan dirinya atau tidak diperlukan kehadirannya.
5.     Keluarnya orang yang mewakili dari status pemilikan.[6]
Dalam praktek keseharian khususnya dalam perbankan, transaksi wakalah sangatlah sering terjadi, meski keberadaannya sekilas tak kasat mata, namun jika dilihat mendalam transaksi wakalah hampir selalu mewarnai dunia perbankan saat ini, diantara transaksi perbankan yang tidak luput dari wakalah antara lain :
Ø Transfer uang.
Proses transfer uang ini merupakan salah satu konsep perbankan yang berbasis akad Wakalah, dimana prosesnya diawali dengan adanya permintaan nasabah sebagai Al-Muwakkil terhadap bank sebagai Al-Wakil untuk melakukan perintah/permintaan kepada bank untuk mentransfer sejumlah uang kepada rekening orang lain, kemudian bank mendebet rekening nasabah (Jika transfer dari rekening ke rekening), dan proses yang terakhir yaitu dimana bank mengkreditkan sejumlah dana kepada rekening tujuan. Berikut adalah beberapa contoh proses dalam transfer uang ini:
·        Wesel Pos.
Pada proses wesel pos, uang tunai diberikan secara langsung dari Al-Muwakkil kepada Al-Wakil, dan Al-Wakil memberikan uangnya secara langsung kepada nasabah yang dituju.
·        Transfer uang melalui cabang suatu bank.
Dalam proses ini, Al-Muwakkil memberikan uangnya secara tunai kepada bank yang merupakan Al-Wakil, namun bank tidak memberikannya secara langsung kepada nasabah yang dikirim. Tetapi bank mengirimkannya kepada rekening nasabah yang dituju tersebut. Berikut adalah proses pentrasferan uang melalui cabang sebuah bank.
·        Transfer melalui ATM.
Ada juga proses transfer uang dimana pendelegasian untuk mengirimkan uang, tidak secara langsung uangnya diberikan dari Al-Muwakkil kepada bank sebagai Al-Wakil. Dalam model ini, Nasabah Al-Muwakkil meminta bank untuk mendebet rekening tabungannya, dan kemudian meminta bank untuk menambahkan di rekening nasabah yang dituju sebesar pengurangan pada rekeningnya sendiri. Yang sangat sering terjadi saat ini adalah proses yang ketiga ini, dimana nasabah bisa melakukan transfer sendiri melalui mesin ATM.
Ø Investasi Reksadana Syari’ah.
Akad untuk transaksi Investasi Reksadana Syariah ini menggunakan akad Wakalah dan Mudharabah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 20/DSN-MUI/IV/2001. Akad Wakalah ini memiliki definisi dimana pemilik modal memberikan kuasa kepada manajer investasi agar memiliki kewenangan untuk menginvestasikan dana dari pemilik modal.
Ø Pembiayaan Rekening Koran Syari’ah.
Akad untuk transaksi pembiayaan rekening koran syariah ini menggunakan akad Wakalah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 30/DSN/VI/2002. Akad Wakalah ini memiliki definisi dimana bank memberikan kuasa kepada nasabah untuk melakukan transaksi yang diperlukan.
Ø Asuransi Syari’ah.
Akad untuk Asuransi syariah ini menggunakan akad Wakalah bil Ujrah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 52/DSN-MUI/III/2006. Akad Wakalah bil Ujrah ini memiliki definisi dimana pemegang polis memberikan kuasa kepada pihak asuransi untuk menyimpannya ke dalam tabungan maupun ke dalam non-tabungan. Dalam model ini, pihak asuransi berperan sebagai Al-Wakil dan pemegang polis sebagai Al-Muwakil. [7]



[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002), hal 231.
[2] H. Sulaiman Rasjid, Fikih Islam, (Attahirijah: Jakarta, 1954) hal.307
[3] Ismail, Perbankan Syari’ah, (Jakarta: KENCANA,2011), hal 105.
[4] M. Syafii. Antonio. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek. Hlm. 121
[5] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13,(al ma’arif: Bandung, 1987)hal. 55-56
[6] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13,(al ma’arif: Bandung, 1987), hal 66.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts