Senin, 20 Oktober 2014

Manusia dan Kaidah Sosial


Kita sebagai makhluk yang bermasyarakat, dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat terlepas dari kehidupan sosial. Baik secara luas, maupun secara terbatas, kita harus selalu berhubungan dengan orang lain di sekitar kita. Sudah menjadi kodrat alam, manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain, sebaliknya mereka selalu hidup bersama. Sekurang-kurangnya kehidupan bersama itu terdiri dari dua orang.
Dalam ajarannya, seorang ahli fikir yunani kuno Aristoteles menyatakan bahwa manusia itu ZOON POLITICON, artinya bahwa manusia sebagai mankhluk hidup pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat. Dan oleh karena sifat manusia yang suka bergaul itu maka manusia disebut dengan makhluk sosial.[1]
Selanjutnya, manusia sebagai makhluk sosial, juga memiliki sikap, kemauan, emosi, dan  potensi-potensi kejiwaan lainnya, yang dapat berkembang dalam kehidupan bermasyarakat. Gejala dan kemampuan psiko-sosial yang dimiliki manusialah yang menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya.[2]
Kahidupan manusia dalam pergaulan masyarakat dilipute oleh kaidah-kaidah atau norma-norma, yaitu peraturan-peraturan hidup yang mempengaruhi tingkah laku manusia dalam masyarakat. Sejak masa kecilnya merasakan adanya peraturan-peraturan hidup yang berlaku dalam lingkungan keluarga yang dikenalnya, kemudian juga yang berlaku di luarnya, dalam masyarakat. Yang dirasakan paling nyata ialah peraaturan-peraturan hidup yang berlaku dalam suatu Negara.[3]
Manusia melakukan hubungan dalam kelompok karena memiliki berbagai kepentingan masing-masing, sehingga karena setiap manusia dalam masyarakat memiliki tujuan haruslah ada kaidah yang mengatur dan member perlindungan atas hak dan kepentingan para anggota masyarakat.
Agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggota masyarakat dengan aman tentram dan damai tanpa gangguan, maka bagi tiap manusia parlu adanya suatu tata (orde=ordnung) atau kaidah. Kaidah itu berwujud aturan-aturan yang menjadi pedoman bagi segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga kepentingan masing-masing dapat dipelihara dan terjamin. Setiap anggota masyarakat mengetahui hak dan kewajiban masing-masing.
Berdasarkan isi wujudnya ada dua macam kaidah, yaitu:
Ø Perintah, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang baik.
Ø Larangan, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu yang oleh karena akibat-akibatnya dipandang tidak baik.
Kaidah-kaidah itu dapat dipertahankan  dengan senksi-sanksi, yaitu ancaman hidup terhadap siapa saja orang yeeng melanggarnya. Sanksi itu merupakan suatu pengukuh terhadap berlakunya kaidah-kaidah tadi dan merupakan pula reaksi terhadap perbuatan yang melanggar norma.
Kaidah sosisal pada hakikatnya merupakan perumusan suatu pandangan mengenai prilaku atau sifat yang sebaiknya dilakukan. Hal ini telah dijelaskan oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto bahwa kaidah adalah patokan atau ukuran ataupun pedoman untuk berprilaku atau sikap tindak dalam hidup.[4]
Dalam kehidupan sosial terdapat empat macam kaidah yang harus ditaati yaitu:
a.     Kaidah Agama
Kaidah agama adalah peraturan hidup yang dilaksanakan berupa perintah perintah, larangan-larangan, dan anjuran-anjuran yang berasal dari tuhan. Perintah-perintah, dan larangan-larangan dalam agama diyakini dan diakui berasal dari Tuhan oleh para pemeluk agama tersebut dan merupakan tuntutan hidup yang wajib dilakukan atau ditinggalkan untuk menuju ke jalan yang benar.
Kaidah agama bertujuan untuk mencapai suatu kehidupan yang beriman. Kaidah ini sumbernya berasal dari perintah ALLAH SWT melalui Nabi atau Rosul-NYA. Kaidah ini juga tidak hanya mengatur hubungan antar manusia. Akan tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Pelanggaran terhadap kaidah agama ini akan mendapatkan sangsi dari Tuhan yang Maha Esa yang berupa siksaan di neraka.
Kaidah agama ini bertujuan penyempurnaan manusia, karena kaidah ini ditujukan kepada umat manusia dan melarang manusia berbuat jahat. Kaidah ini juga hanya ditujukan kepada sikap batin manusia yang sesuai dengan isi kaidah tersebut. Apabila boleh ditentukan adanya suatu pandangan pokok melalui prikelakuan atau sikap tindak, nilai fundamental atau grundnorm kehidupan beriman, dapatlah kaidah tersebut dirumuskan misalnya manusia harus yakin dan mengapdi kepada kekuasaan tuhan yang Maha Esa. Adapun nilai aktual kaidah ini bagi agama islam adalah arkanul iman dan arkanul islam.
Beberapa contoh kaidah agama:
Ø “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk(32). Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar….(33) (Al-Quran surat Al-israa’ ayat 32-33)
b.     Kaidah Kesusilaan
Kaidah kesusilaan ialah peraturan hidup yang dianggap sebagai suara hati sanubari manusia(insan-kamil)
Peraturan-peraturan hidup ini berupa bisikan kalbu atau suara batin yang diakui dan diinsyafi oleh semua orang sebagai pedoman dalam sikap dan perbuatannya.
Hasil daripada perintah dan larangan yang timbul dari kaidah kesusilaan itu pada manusia tergantung pada pribadi orang-orang. Isi hatinya akan mengatakan perbuatan mana yang jahat. Hati nuraninya akan menentukan apakah ia akan melakukan suatu perbuatan.[5]
Kaidah kesusilaan bertujuan agar manusia hidup berakhlak atau mempunyai hati nurani bersih. Kaidah ini dapat melenyapkan ketidak seimbangan hidup pribadi, mencegah kegelisahan diri sendiri.[6] Sumber kaidah kesusilaan dalah dari manusia sendiri, oleh karena itu bersifat otonom dan tidak ditujukan kepada sikap batin manusia tersebit. Batinnya sendirilah yang mengancam perbuatan yang melanggar kaidah kesusilaan dengan sangsi, misalnya penyelesaian, siksaan batin, dan lain-lain.
Contoh kaidah kesusilaan antara lain, yaitu: Berbuatlah jujur, Hormatilah sesamamu, Jangan berzina, Jangan mencuri, Jangan iri hati[7]
c.      Kaidah Kesopanan
Kaidah kesopanan ialah kaidah hidup yang timbul dari pergaulan dalam masyarakat tertentu. Kaidah kesopanan dasarnya adalah kepantasan, kebiasaan ataupun kepatutan yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu kaidah kesopanan itu dinamakan kaidah tata krama atau adat. Oleh karena itu, kaidah kesopanan adalah kesedapan hidup bersama, atau supaya pergaulan hidup berlangsung secara menyenangkan.[8] Kaidah kesopanan sering tidak mengikat karena kaidah kesopanan itu tidak hanya berbeda dari lingkungan masyarakat ke masyarakat lain, namun ukuran kesopanan itu sering juga berlain-lainan dalam suatu lingkungan masyarakat yang sama namun berbeda menurut generasi.[9]
Suatu golongan masyarakat tertentu dapat menetapkan peraturan-peraturan tertentu mengenai kesopanan, yaitu apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh seseorang dalam masyarakat itu.
Misalnya: Orang muda harus menghormati orang yang lebih tua, Janganlah meludah di lantai atau di sembarang tempat, Jangan berdesak-desakkan memasuki ruangan, Berilah tempat terlebih dahulu kepada wanita di dalam kereta api, bis, dan lain-lain (terutama wanita tua, hamil atau membawa bayi)[10].
d.     Kaidah Hukum
Kaidah Hukum ialah peraturan-peraturan yang di buat oleh penguasa Negara, yang isinya mengikat semua orang dan berlakunya biasa dipaksakan oleh aparat Negara dan pelaksanaanya dapat dipertahankan.[11]
Kaidah Hukum bertujuan hubungan antara manusia dalam sebuah masyarakat dapat berjalan dengan baik untuk melindungi kepentian dan hak setiap anggota masyarakat.
Contoh kaidah hukum, sebagai berikut:
Ø Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun (Pasal 285 KUHP).[12]
Berdasarkan contoh-contoh di atas, dapat dipahami bahwa kaidah hokum memilki sanksi yang tegas dan dapat dipaksakan oleh aparat Negara, sehingga kaidah ini diharapkan dapat menjamin terciptanya keadaan yang aman, tertib, dan adil.
Perbedaan antara kaidah hukum dengan kaidah sosial lainnya yang sangat kentara adalah tidak adanya sanksi yang dijatuhkan kepada pelanggar kaidah sosial selain kaidah hukum. Sedangkan dalam kaidah hukum suatu pelanggaran akan mendapatkan sanksi yang tegas dari pihak yang berwenang. Berbeda dengan kaidah sosial peraturannya tidak mengikat dan tidak ada sanksi yang tegas.
Perbedaan lainnya adalah kaidah hukum bersifat universal atau menyeluruh bagi semua masyarakat di manapun atau dari generasi kapanpun. Kaidah hukumpun peraturannya diadakan oleh aparat Negara.
Pelanggaran norma agama diancam dengan hukuman dari Tuhan; dan hukuman itu berlaku kelak di akhirat. Pelanggaran terhadap norma kesusilaan mengakibatkan perasaan cemas dan kesal hati terhadap si pelanggar yang insyaf. Pelanggar norma kesopanan mengakibatkan celaan atau pengasingan dari lingkungan masyarakat.
Hukuman-hukuman semacam ini tidak mendapat perhatian dari orang-orang yang tak mengenal atau tak mempedulikan agama, kesusilaan dan kesopanan. Orang-orang yang tidak beragama tentulah tidak takut akan hukuman dari Tuhan; orang yang tidak berkesusilaan tidak akan merasa cemas atau kesal hati atas perbuatannya yang salah dan orang yang tidak berkesopanantidak pula mempedulikan celaan atau pengasingan dari lingkungan masyarakat.
Dengan demikian orang-orang itu juga tidak terikat kapada jenis peraturan hidup itu, sehingga  mereka bebas untuk berbuat sesuka hatinya. Sikap yang demikian tentulah membahayakan masyarakat. Oleh karena itu disamping tiga kaidah hidup tadi perlu juga adanya suatu kaidah hidup yang bersifat memaksa dan mempunyai sanksi-sanksi yang tegas. Jenis kaidah yang dimaksud adalah Kaidah Hukum.
Dari uaraian diatas sudah jelas adanya hubungan anatara kaidah hukum dengan kaidah-kaidah lainnya, yaitu bahwa kaidah-kaidah sosial selain kaidah hukum juga ikut mengatur ketertiban masyarakat sehingga dapat dikatakan bahwa kehidupan manusia didalam masyarakat tidak hanya di atur oleh hukum, melainkan juga diatur oleh kaidah-kaidah lainnya.
Hubungan antara kaidah hukum dengan kaidah lainnya itu saling mengisi atu sama yang lain. Artinya kaidah sosial selain kaidah hukum mengatur kaidah manusia dalam masyarakat yang tidak diatur oleh hukum. Selain saling mengisi kaidah hukum dan kaidah sosial lainnya juga saling memperkuat, artinya suatu kaidah hukum semisal “kamu tidak bleh membunuh” diperkuat oleh kaidah sosial lainnya misalnya kaidah agama dan kaidah kesusilaan yang juga mempunyai atau mengandung suruhan yang sama sehingga tanpa kaidah hukum pun orang dalam masyarakat sudah ada larangan untuk membunuh sesamanya.
Kesimpulan dari uraian di atas adalah bahwa adanya hukum sebagai kaidah sosial, tidak berarti bahwa pergaulan antar manusia dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum. Selain oleh hukum, kehidupan manusia dalam masyarakat selain dipedomani oleh moral manusia itu sendiri yang otonom, diatur pula oleh agama, kaidah-kaidah moral positif, kebiasaan, adat kebiasaan, dan kaidah-kaidah sosial lainnya. Antara hukum, moral serta agama dan kaidah-kaidah sosial lainnya ini, terdapat hubungan jalin-menjalin yang erat, yang satu memperkuat yang lainnya. Adakalanya hukum atau undang-undang tidak sesuai atau serasi dengan kaidah-kaidah sosial lainnya itu. Dalam hal kauidah-kaidah sosial lainnya itu yang lebih dipatuhi, maka undang-undang yang bersangkutan dikatakan merupakan “huruf-huruf mati”.[13]



[1] Drs. C.S.t. Kansil, S.H. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka 1980) hal.27
[2] DR. Nursid Sumaatmaja, Pengantar Studi Sosial (Bandung: Penerbit Alumni 1986) hal.21
[3] Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Latihan Ujian Pengantar Ilmu Hukum, (jakarta: Sinar Grafika, 1992), cet. Ke-5. hal
[4] Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), Hal. 14
[5] Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Latihan Ujian Pengantar Ilmu Hukum,  hal.06
[6]Soerjono Soekamto, Pengantar Sejarah Hukum, (Bandung: Alumni, 1983), hal.24
[7] Ishaq, S.H., M.Hum, Dasar-dasar Ilmu Hukum, (jakarta: Sinar Grafika 2008), hal.31
[8] Ishaq, S.H., M.Hum, Dasar-dasar Ilmu Hukum, hal.31
[9] Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, S.H., LL. M. Dan Dr. B. Arief Sidharta, S.H., pengantar ilmu hukum, (Bandung: P.T. Alumni, 1999), Buku 1, Hal.24 
[10] Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesi,. Hal.85
[11] Ishaq, S.H., M.Hum, Dasar-dasar Ilmu Hukum, hal.32
[12] R. Susilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Demi Pasal, (Bogor: Politeia) hal.210.
[13] Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, S.H., LL. M. Dan Dr. B. Arief Sidharta, S.H., pengantar ilmu hukum, (Bandung: P.T. Alumni, 1999), Buku 1, Hal.31-32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts