Dalam
kehidupan sehari-hari kita banyak melakukan kegiatan berMu’amalah, yang
dalam islam ber-mu’amalah memiliki aturan-aturan tersendiri. Dalam ber-mu’amalah
sering kali kita menggunakan akad wakalah atau mewakilkan suatu pekerjaan
kepada orang lain karena alas an kita tidak bias untuk melaksanakan tugas yang
seharusnya kita laksanakan. Oleh karenanya dalam kesempatan kali ini kami akan
membahas sedikit permasalahan yang berkaitan dengan wakalah atau perwakilan
yang kami dapat dari perkuliahan kemarin. J
Secara bahasa Al
Wakalah atau Al
Wikalah, bermakna: At Tafwidh (penyerahan = pendelegasian =
pemberian mandat). Sedangkan Al-Wakalah atau al-wakilah menurut istilah para
tokoh ulama berbeda-beda antara lain sebagai berikut.
·
Malikiyyah berpendapat bahwa al-Wakalah
ialah seseorang menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hak
(kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu.
·
Hanafiyyah berpendapat bahwa al-Wakalah
ialah seseorang menempati diri orang lain dalam tasharruf
(pengelolahan).
·
Sayyid al-bakri ibnu al-Arif billah al-
sayyid Muhammad Syatha al-Dhimyati berpendapat bahwa al-Wakalah ialah seseorang
menyerahkan urusannya kepada yang lain yang didalamnya terdapat penggantian.
·
Imam Taqy al-Din Abi Bakr Ibn Muhammad
al-Husaini berpendapat bahwa al-Wakalah ialah seseorang yang menyerahkan
hartanya untuk dikelolahnya yang ada penggantinya kepada yang lain supaya
menjaganya ketika hidupnya.
·
Hasbi Ash-Shiddiqy berpendapat bahwa
al-Wakalah ialah Akad penyerahan kekuasan, pada akad itu seseorang menunjuk
orang lain sebagai gantinya dalam bertindak.
·
Idris Ahmad berpendapat bahwa al-Wakalah
ialah seseorang yang menyerahkan suatu urusanya kepada orang lain yang
dibolehkan oleh syara’. Supaya yang diwakilkan dapat mengerjakan apa yang harus
dilakukan dan berlaku selama yang mewakilkan masih hidup.
Dari banyaknya defnisi tersebut dapat ditarik
kesimpulan al wakalah adalah penyerahan kekuasaan oleh seseorang pada orang
lain dalam hal-hal yang dapat diwakilkan baik berupa harta atau pekerjaan
sehingga yang mewakili berkuasa penuh atas apa yang diwakili serta selama yang
mewakilkan masih hidup dan tidak ada pemutusan akad perwakilan.
Ada beberapa rukun-rukun dalam berwakalah yaitu:
Ø Yang
berwakil dan wakil syarat keduanya hendaknya dapat menjalankan pekerjaan itu
dengan sendirinya (pekerjaan itu boleh dikerjakan sendiri atau diwakilkan dan
dia boleh menjadi wakil pekerjaan itu). Yang menjadi wakil tidak boleh
mewakilkan lagi kepada orang lain, kecuali dengan izin dari yang berwakil atau
karena sangat terpaksa. Sedangkan masalah anak kecil dan orang gila tidak sah
berwakil atau menjadi wakil. Adapun anak kecil ada sedikit pembeda, dia sah
mewakilkan dalam tindakan-tindangan yang bermanfaat, mahdhah seperti mewakilkan untuk menerima hibah, sedekah dan
wasiat. Jika tindakan itu adalah tindakan dharah
mahdhah (berbahaya) seperti talak, memberikan sedekah, memberikan hibah
maka tidak dibenarkan mewakilkan. Sedangkan menurut madzhab hanafi, anak kecil
yag sudah dapat membedakan barang maka sah diberikan perwakilan karena ia sudah
dianggap sebagai orang yang baligh.
Ø Pekerjaan
yang diserahkan syaratnya:
a. Situasi
pekerjaannya boleh digantikan oleh orang lain, oleh karena itu tidak sah
melakukan wikalah untuk mengerjakan ibadah, kecuali ibadah-ibadah tertentu
b. Pekerjaan
itu telah menjadi milik yang berwakil sewaktu dia berwakil, oleh karena itu
tidak sah berwakil menjual barang yang belum menjadi miliknya
c. Keadaan
pekerjaan itu diketahui dengan jelas.
Akad
atau Lafadz syaratnya adalah menggunakan sebuah kalimat yang menunjukan
keridoan yang berwakil atas apa yang diwakilkan. Dan tidak disyaratkan adanya
lafadz tertentu akan tetapi sudah sah dengan apa saja yang dapat menunjukan hal
itu baik berupa ucapan atau perbuatan.
Sedangkan macam-macam wakalah dapat
diklarifikasikan sebagai berikut :
·
Wakalah al mutlaqah, yaitu
mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan waktu syarat atau
kaidah tertentu dan untuk segala urusan, semisal seperti
ungkapan : juallah mobil ini, tanpa menyebutkan harga yang diinginkan.
·
Wakalah al muqayyadah, yaitu
penunjukan wakil untuk bertindak atas namanya dibatasi dengan syarat-syarat tertentu, misalnya juallah
mobilku dengan harga 100 juta jika kontan dan 150 juta jika kredit.
·
Wakalah al ammah, perwakilan
yang prosesi pendelegasian wewenangnya
bersifat umum, tanpa adanya spesifikasi, Seperti ungkapan belikanlah aku mobil
apa saja yang kamu temui.
Islam mensyariatkan wakalah karena manusia
membutuhkannya. Tidak semua manusia berkemampuan melakukan segala urusannya
secara pribadi. Ia membutuhkan orang lain untuk diberi mandat untuk menjadi
wakilnya melakukan beberapa urusan.
Salah satu dasar dibolehkannya al-wakalah adalah
firman Allah SWT berkenaan dengan Ash-habul Kahfi,
“Dan Demikianlah Kami bangunkan
mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah
seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)".
mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari".
berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu
berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke
kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan
yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah
ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada
seorangpun.” (Q.S. Al-Kahfi: 19).
Ayat ini melukiskan perginya salah seorang ash-habul
kahfi yang bertindak atas nama
rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan.
a. Q.S.
Al-Baqarah: 283
“Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan
persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(Q.S. Al-Baqarah: 283)
Dalam ayat ini
menerangkan bahwa apabila suatu ketika kita melakukan transaksi utang piutang
akan tetapi tidak terdapat seorang saksi, juga tak ada seorang yang dapat
menulis kesepakatan atau perjanjian tersebut, maka orang yang berhutang dapat
memberikan jaminan kepada orang yang memberikan hutang. Dengan demikian maka
secara tidak langsung orang yang berhutang telah mewakilkan hak atas barang
tersebut kepada orang yang memberikan hutang dalam hal perawatan dan
pemanfaatan selama orang yang berhutang belum melunasi hutangnya, atau dengan
syarat-syarat tertentu yang telah disepakati bersama.
b. QS
An-Nisaa: 35
“Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakim dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu
bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS An-Nisaa: 35)
Ayat ini menerangkan bahwa apabila
terdapat perselisihan antara suami dan istri maka hendaklah mereka mengirimkan
seorang hakim dari keluarga laki-laki dan perempuan sebagai wakil dalam
menyelesaikan perselisihan tersebut.
c. QS
Yusuf: 55
“Berkata Yusuf: "Jadikanlah
aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai
menjaga, lagi berpengetahuan.”(QS Yusuf: 55)
Banyak hadits yang dapat dijadikan landasan
keabsahan Wakalah, diantaranya:
“Bahwasanya Rasulullah mewakilkan
kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilkannya mengawini Maimunah
binti Al Harits”.
(HR.
Malik dalam al-Muwaththa’)
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum
muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat
yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
(HR Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf)
Dalam kehidupan sehari-hari, Rosulullah telah
mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan. Diantaranya adalah membayar
hutang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta,
membagi kandang hewan, dan lain-lain.
3.
Ijma’
Para ulama pun bersepakat dengan ijma’ atas
diperbolehkannya Wakalah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunahkannya
dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis ta’awun atau tolong-menolong
atas dasar kebaikan dan taqwa. Tolong-menolong diserukan oleh Al-Qur’an dan
disunahkan oleh Rasulullah.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan
haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia
dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji,
Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu
kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu
berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat
siksa-Nya.” (Q.S. Al-Maidah: 2).
Akad wakalah akan berakhir apabila:
1. Matinya
salah seorang dari yang berakad, atau menjadi gila. Karena salah satu wakalah
adalah hidup dan berakal. Apabila terjadi kematian, atau gila, berarti syarat
sahnya menjadi tidak ada.
2. Dihentikannya
pekerjaan yang dimaksud. Kerena jika telah terhenti, dalam keadaan ini wakalah
tidak memiliki makna lagi.
3. Pemutusan
oleh orang yang mewakilkan terhadap wakil sekalipun dia tidak tahu, ini menurut
madzhab Asy Syafi’I dan Hambali. Sedangkan menurut madzhab Hanafi wajib bagi wakil
mengetahui pemutusan. Sebelum ia mengetahui hal itu maka tindakannya tidak
ubahnya seperti sebelum diputuskan untuk segala hukumnya.
4. Wakil
memutuskan sendiri. Tidak perlu orang yang mewakilkan mengetahui pemutusan
dirinya atau tidak diperlukan kehadirannya.
5. Keluarnya
orang yang mewakili dari status pemilikan.
Dalam praktek keseharian khususnya dalam perbankan,
transaksi wakalah sangatlah sering terjadi, meski keberadaannya sekilas tak
kasat mata, namun jika dilihat mendalam transaksi wakalah hampir selalu
mewarnai dunia perbankan saat ini, diantara transaksi perbankan yang tidak
luput dari wakalah antara lain :
Ø Transfer uang.
Proses transfer uang ini merupakan salah satu konsep
perbankan yang berbasis akad Wakalah, dimana prosesnya diawali
dengan adanya permintaan nasabah sebagai Al-Muwakkil terhadap
bank sebagai Al-Wakil untuk melakukan perintah/permintaan
kepada bank untuk mentransfer sejumlah uang kepada rekening orang lain,
kemudian bank mendebet rekening nasabah (Jika transfer dari rekening ke rekening),
dan proses yang terakhir yaitu dimana bank mengkreditkan sejumlah dana kepada
rekening tujuan. Berikut adalah beberapa contoh proses dalam transfer uang ini:
·
Wesel Pos.
Pada proses wesel pos, uang tunai
diberikan secara langsung dari Al-Muwakkil kepada Al-Wakil,
dan Al-Wakil memberikan uangnya secara langsung kepada nasabah
yang dituju.
·
Transfer
uang melalui cabang suatu bank.
Dalam proses ini, Al-Muwakkil memberikan
uangnya secara tunai kepada bank yang merupakan Al-Wakil, namun
bank tidak memberikannya secara langsung kepada nasabah yang dikirim. Tetapi
bank mengirimkannya kepada rekening nasabah yang dituju tersebut. Berikut
adalah proses pentrasferan uang melalui cabang sebuah bank.
·
Transfer melalui ATM.
Ada juga proses transfer uang dimana
pendelegasian untuk mengirimkan uang, tidak secara langsung uangnya diberikan
dari Al-Muwakkil kepada bank sebagai Al-Wakil.
Dalam model ini, Nasabah Al-Muwakkil meminta bank untuk
mendebet rekening tabungannya, dan kemudian meminta bank untuk menambahkan di
rekening nasabah yang dituju sebesar pengurangan pada rekeningnya sendiri. Yang
sangat sering terjadi saat ini adalah proses yang ketiga ini, dimana nasabah
bisa melakukan transfer sendiri melalui mesin ATM.
Ø Investasi Reksadana Syari’ah.
Akad untuk transaksi Investasi Reksadana Syariah ini
menggunakan akad Wakalah dan Mudharabah. Hal ini
sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 20/DSN-MUI/IV/2001.
Akad Wakalah ini memiliki definisi dimana pemilik modal
memberikan kuasa kepada manajer investasi agar memiliki kewenangan untuk
menginvestasikan dana dari pemilik modal.
Ø Pembiayaan Rekening Koran Syari’ah.
Akad untuk transaksi pembiayaan rekening koran syariah
ini menggunakan akad Wakalah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan
Syariah Nasional Nomor: 30/DSN/VI/2002. Akad Wakalah ini
memiliki definisi dimana bank memberikan kuasa kepada nasabah untuk melakukan
transaksi yang diperlukan.
Ø Asuransi
Syari’ah.
Akad untuk Asuransi syariah ini menggunakan akad Wakalah
bil Ujrah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor:
52/DSN-MUI/III/2006. Akad Wakalah bil Ujrah ini memiliki
definisi dimana pemegang polis memberikan kuasa kepada pihak asuransi untuk
menyimpannya ke dalam tabungan maupun ke dalam non-tabungan. Dalam model ini,
pihak asuransi berperan sebagai Al-Wakil dan pemegang polis
sebagai Al-Muwakil.
Hendi
Suhendi,
Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada,2002), hal 231.